Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjadikan hukum sebagai panglima dalam
seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Cita-cita reformasi untuk
mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara hingga saat ini
tak pernah terwujud. Bahkan
dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan.
Akan tetapi
negara hukum Indonesia akan terbayar murah dan status negara hukumnya terancam
dengan melihat adanya praktik- praktik penegakan hukum belakangan ini. Konsep the
rule of law yang diterapkan
oleh aparatur hukum dari kepolisian hingga lembaga peradilan bahkan komisi dan
satgas sekalipun luput dari cita-cita penegakan hukum yang independen,
imparsial, dan bebas dari intervensi kekuasaan maupun politik. Kondisi tersebut
terjadi lantaran campur tangan politik (partai politik dan politisi) dalam
aktivitas penegakan hukum. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab hancurnya negara hukum Indonesia
yang kemungkinan akan terdegradasi oleh negara kekuasaan sentralis (machstaat)
jika tetap dipertahankan negara
hukum pun dipertanyakan. Bila dicermati suramnya wajah hukum
merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang statis dan kalaupun hukum ditegakkan
maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses
penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif,
jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam
perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat
ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.
Dampak yang ditimbulkan dari tidak
berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan
kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain
itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan
masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya,
masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya
berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah
satu wujud ketidakpercayaan
masyarakat.
Berikut ini beberapa faktor yang
menyebakan masalah dalam penegakan hukum di Indonesia:
1. Campur Tangan Politik
Kasus-kasus hukum
di Indonesia banyak yang
terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya Hal yang lumrah untuk
dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi struktural saat ini
setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini. ICW mencatat ada 10
kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat. Penegakan hukum tidak secara independen,
tentu tidak hanya karena masalah sikap aparatur namun juga karena intervensi
politik, yang keduanya bersinergi secara simultan. Beberapa kasus extra ordinary crime
yang mampir di KPK mayoritas dipengaruhi oleh konfigurasi politik, misalnya
ditelantarkannya kasus Bank Century yang sampai saat ini tidak mendapatkan
kepastian hukum dan hanya mentah di DPR. Dalam hal tersebut jelas dan tentu
dimenangkan oleh partai-partai yang berkepentingan dengan keberadaan eksekutif
saat ini. Dalam kasus Bank Century berpotensi menyeret para pemilik kursi
eksekutif, seperti mundurnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan lantaran
terseret dalam kasus ini. Adapun kasus lain yang kini tengah
mendapat sorotan publik yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat
Nazaruddin, yakni terkait dugaan korupsi dalam program pembangunan wisma atlet
SEA Games dan tenaga kependidikan, Kemendiknas. Dalam kasus ini konon kader
Partai Demokrat tersebut telah menyumbang Rp 13 miliar ke Partai Demokrat, dan
dalam pengakuannya Nazaruddin diperintahkan untuk lari ke luar negeri oleh
pimpinan umum Partai Demokrat agar tidak terjamah oleh hukum. Meskipun belum
bisa dipastikan semua, pengakuan Nazaruddin di beberapa media massa adalah
benar, patut untuk diduga bahwa telah terjadi campur tangan politik dalam
aktivitas penegakan hukum di Indonesia. Dan masih ada beberapa kasus yang
kemungkinan melibatkan beberapa kader partai politik termasuk Andi Nurpati dari
Demokrat dalam kasus mafia pemilu, Agusrin Najamudin, Gubernur Lampung yang
dalam kasusnya divonis bebas oleh hakim Syarifudin Umar. Nunun Nurbaetie
tersangka suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.
2. Peraturan
perundangan yang lebih berpihak kepada kepentingan penguasa dibandingkan kepentingan rakyat.
Hal
ini dapat terlihat jelas terhadap hukuman yang diberikan kepada para penguasa
yang terjerat kasus korupsi hanya diberikan hukuman yang ringan padahal mereka
sangat merugikan Negara sedangkan rakyat kecil yang melakukan kesalahan
dikarenakan kemiskinan yang menjerat mereka dihukum dengan berat tanpa adanya
perikemanusiaan.
3. Rendahnya integritas moral, kredibilitas,
profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakan hukum.
Moral
yang ada di beberapa aparat penegak hukum di Indonesia saat ini bisa dikatakan
sangat rendah. Mereka dapat dengan mudahnya disuap oleh para tersangka agar
mereka bisa terbebas atau paling tidak mendapat hukuman yang rendah dari kasus
hukum yang mereka hadapi. Padahal para aparat ini telah disumpah saat ia
memangkuh jabatannya sebagai penegak hukum. Terjadi pelanggaran moral ini
kerena kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibanding kebutuhan psikis
yang seharusnya sama. Hakikat manusia adalah makhluk budaya menyadari bahwa yang benar, baik dan indah merupakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. kebahagian jasmani dan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai, dan serasi.
4. Kedewasaan Berpolitik.
Berbagai
sikap yang diperlihatkan oleh partai politik saat kadernya terkena kasus poltik
sesungguhnya memperlihatkan ketidak dewasaan para elit politik di Negara hukum
ini. Sikap saling sandera serta cenderung untuk mengadvokasi para kader termasuk ketidakmauan untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terkait dengan beberapa kasus korupsi yang sedang berlangsung saat ini. sikap kooperatif dan transparansi dalam penegak hukum dianak tirikan, sedangkan politik pencitraan diutamakan agar tetap eksis di hadapan masyarakat.
Untuk
mengurangi penyelewengan hukum dan untuk menegakan hukum sesuai UUD 45 maka
aparatur hukum sendiri sebagai seorang penegak hukum harus memiliki motivasi
yang muncul dari isi jabatan atau pekerjaan yang mencakup faktor tanggung
jawab. Tanggung jawab ini wajib dimiliki
oleh para penegak hukum haruslah taat terhadap hukum dan berpegang teguh kepada UUD 45. Selain itu, untuk
meminimalkan tindakan penyuapan kepada penegak hukum, pemerintah seharusnya
memberi kenaikan imbalan, pujian atau promosi dll. Beberapa masalah penegakan hukum di Indonesia
yang terjadi belakangan ini, seharusnya dijadikan pembelajaran dan evaluasi
diri para penegak hukum di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar