Selasa, 27 Maret 2012

Masalah Penegakan Hukum di Indonesia


Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjadikan hukum sebagai panglima dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat.  Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini tak pernah terwujud. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan.
Akan tetapi negara hukum Indonesia akan terbayar murah dan status negara hukumnya terancam dengan melihat adanya praktik- praktik penegakan hukum belakangan ini. Konsep the rule of law yang diterapkan oleh aparatur hukum dari kepolisian hingga lembaga peradilan bahkan komisi dan satgas sekalipun luput dari cita-cita penegakan hukum yang independen, imparsial, dan bebas dari intervensi kekuasaan maupun politik. Kondisi tersebut terjadi lantaran campur tangan politik (partai politik dan politisi) dalam aktivitas penegakan hukum. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab hancurnya negara hukum Indonesia yang kemungkinan akan terdegradasi oleh negara kekuasaan sentralis (machstaat) jika tetap dipertahankan negara hukum pun dipertanyakan.  Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang statis dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini
Dampak yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).  Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari.  Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.  Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat. 
            Berikut ini beberapa faktor yang menyebakan masalah dalam penegakan hukum di Indonesia:
1.       Campur Tangan Politik
Kasus-kasus hukum di Indonesia banyak yang terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini. ICW mencatat ada 10 kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat.  Penegakan hukum tidak  secara independen, tentu tidak hanya karena masalah sikap aparatur namun juga karena intervensi politik, yang keduanya bersinergi secara simultan.  Beberapa kasus extra ordinary crime yang mampir di KPK mayoritas dipengaruhi oleh konfigurasi politik, misalnya ditelantarkannya kasus Bank Century yang sampai saat ini tidak mendapatkan kepastian hukum dan hanya mentah di DPR. Dalam hal tersebut jelas dan tentu dimenangkan oleh partai-partai yang berkepentingan dengan keberadaan eksekutif saat ini. Dalam kasus Bank Century berpotensi menyeret para pemilik kursi eksekutif, seperti mundurnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan lantaran terseret dalam kasus ini.  Adapun kasus lain yang kini tengah mendapat sorotan publik yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin, yakni terkait dugaan korupsi dalam program pembangunan wisma atlet SEA Games dan tenaga kependidikan, Kemendiknas. Dalam kasus ini konon kader Partai Demokrat tersebut telah menyumbang Rp 13 miliar ke Partai Demokrat, dan dalam pengakuannya Nazaruddin diperintahkan untuk lari ke luar negeri oleh pimpinan umum Partai Demokrat agar tidak terjamah oleh hukum. Meskipun belum bisa dipastikan semua, pengakuan Nazaruddin di beberapa media massa adalah benar, patut untuk diduga bahwa telah terjadi campur tangan politik dalam aktivitas penegakan hukum di Indonesia. Dan masih ada beberapa kasus yang kemungkinan melibatkan beberapa kader partai politik termasuk Andi Nurpati dari Demokrat dalam kasus mafia pemilu, Agusrin Najamudin, Gubernur Lampung yang dalam kasusnya divonis bebas oleh hakim Syarifudin Umar. Nunun Nurbaetie tersangka suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.
2.       Peraturan perundangan yang lebih berpihak kepada kepentingan penguasa dibandingkan   kepentingan rakyat.
Hal ini dapat terlihat jelas terhadap hukuman yang diberikan kepada para penguasa yang terjerat kasus korupsi hanya diberikan hukuman yang ringan padahal mereka sangat merugikan Negara sedangkan rakyat kecil yang melakukan kesalahan dikarenakan kemiskinan yang menjerat mereka dihukum dengan berat tanpa adanya perikemanusiaan.
3.       Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakan hukum.
Moral yang ada di beberapa aparat penegak hukum di Indonesia saat ini bisa dikatakan sangat rendah. Mereka dapat dengan mudahnya disuap oleh para tersangka agar mereka bisa terbebas atau paling tidak mendapat hukuman yang rendah dari kasus hukum yang mereka hadapi. Padahal para aparat ini telah disumpah saat ia memangkuh jabatannya sebagai penegak hukum. Terjadi pelanggaran moral ini kerena kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibanding kebutuhan psikis yang seharusnya sama.  Hakikat manusia adalah makhluk budaya menyadari bahwa yang benar, baik dan indah merupakan keseimbangan  antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia.   kebahagian jasmani dan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai, dan serasi.
4.       Kedewasaan Berpolitik.
Berbagai sikap yang diperlihatkan oleh partai politik saat kadernya terkena kasus poltik sesungguhnya memperlihatkan ketidak dewasaan para elit politik di Negara hukum ini. Sikap saling sandera serta cenderung untuk mengadvokasi para kader termasuk ketidakmauan untuk memberikan informasi  kepada aparat penegak hukum terkait dengan beberapa kasus korupsi yang sedang berlangsung saat ini.  sikap kooperatif dan transparansi dalam penegak hukum dianak tirikan, sedangkan politik pencitraan diutamakan agar tetap eksis di hadapan masyarakat.

Untuk mengurangi penyelewengan hukum dan untuk menegakan hukum sesuai UUD 45 maka aparatur hukum sendiri sebagai seorang penegak hukum harus memiliki motivasi yang muncul dari isi jabatan atau pekerjaan yang mencakup faktor tanggung jawab.  Tanggung jawab ini wajib dimiliki oleh para penegak hukum haruslah taat terhadap hukum dan berpegang teguh kepada UUD 45.  Selain itu, untuk meminimalkan tindakan penyuapan kepada penegak hukum, pemerintah seharusnya memberi kenaikan imbalan, pujian atau promosi dll.  Beberapa masalah penegakan hukum di Indonesia yang terjadi belakangan ini, seharusnya dijadikan pembelajaran dan evaluasi diri para penegak hukum di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar