CAKIL atau Gendirpenjalin, berwujud raksasa berpangkat
tumenggung. Cakil bukan nama
sesungguhnya dan hanya nama ejekan, oleh karena raksasanya bertaring di ujung
mulut seperti pasak (Jawa: cakil). Tokoh
ini tidak dikenal dalam kitab asli Mahabarata maupun Ramayana. Tokoh ini memang produk lokal Jawa
(Nusantara) layaknya tokoh wayang Gareng, Petruk, Bagong. Bahkan, beberapa sumber menyebut tubuh Cakil
yang berwajah raksasa ini merupakan imajinasi dari sebuah sengkalan (penandaan
tahun dalam kalender Jawa) yang menandakan kapan tokoh Cakil dibuat pertama
kali. Sebagaimana Gareng, Petruk, dan
Bagong, Cakil juga merupakan profil rakyat kecil. Seorang kawula yang diberi
tugas sebagai penjaga hutan.
Dari gerakan
tokoh Cakil ini bisa digunakan oleh penonton wayang kulit sebagai ukuran
kemampuan dalang dalam memainkan wayang.
Kelincahan gerakan Cakil dalam menari
sangat tergantung sang dalang dalam mengolah wayang.
Wayang kulit Cakil tak seberapa menarik, tetapi di dalam wayang wong
(orang) Cakil merupakan sripanggung, apalagi baik tariannya, sebab tari Cakil
adalah campuran antara tarian dan pencak silat dengan diiringi irama gamelan.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan para
ksatria ataupun pandhita yang baru turun
gunung dalam adegan Perang Kembang yaitu perang antara satria melawan raksasa
yang merupakan lambang nafsu angkara murka.
Tujuannya jelas, menghalang-halangi orang supaya gagal menemui kebenaran
dan kebaikan. Tak pernah diceritakan ras
raksasa ini menang dalam petempuran. Tokoh
ini selalu mati karena tertusuk kerisnya sendiri. Mungkin ini
menggambarkan bahwa manusia bisa binasa karena polahnya sendiri. Buta cakil juga selalu hidup lagi dan muncul dalam cerita lain;
barangkali ini untuk mengingatkan, sifat jelek manusia yang bisa muncul kapan
saja.
Raksasa Cakil suaranya kemeng (kecil) dan
bicaranya menggagap. Kalau ia
bersama-sama dengan kawan-kawan raksasa melaksanakan perintah penting raja,
dengan kata-kata ia banyak menampakkan keberaniannya dan pada waktu terjadi
perang, dialah yang pertama-tama maju, tapi kalah dan kalau ia kemudian minta
bantuan, maju perang lagilah ia untuk akhirnya bersama-sama dengan
kawan-kawannya mati juga.
Cakil bermata kriyipan (berkejap-kejap), berhidung bentuk haluan
perahu mendongak, bergigi dan bertaring di hadapan mulut, hingga melewati bibir
atas.
Karena bentuk rahangnya ini, buta cakil tidak
bisa meludah sehingga air liurnya berleleran setiap kali dia bicara dan bertingkah
pethakilan. Bersanggul bentuk
keling dengan dikembangi. Bersunting
kembang kluwih panjang, berkalung ulur-ulur.
Berkeris dua, yang sebuah bentuk sarung ladrang, ialah sarung keris
bentuk panjang dan runcing, diselipkan di pinggang belakang. Dan yang sebuah lagi gayaman, ialah sarung
keris yang serupa buah gayam (di Jakarta disehut buah gatet). Pemakaian keris ini tidak seperti biasa,
melainkan diselipkan secara dibalikkan yang disebut kewalan. Suatu cara memakai keris yang dilarang
menurut undang-undang Kraton, karena menunjukkan suatu kesiapsiagaan untuk
menghunus keris.
Selain wajahnya yang tidak enak dilihat, dia pun berwatak buruk. Cakil memiliki sifat; pemberani, tangkas, trengginas, banyak tingkah
dan pandai bicara. Ia berwatak kejam,
serakah, selalu menurutkan kata hati dan mau menangnya sendiri.
Dia suka sekali mengadu domba dan menguji kesabaran orang dengan tingkahnya yang menjengkelkan. Lalu dia akan terbahak-bahak kegirangan jika dia berhasil mencederai ketentraman dengan keonarannya. Dengan gambaran yang tidak indah tentang si buta cakil ini, wajarlah jika ia tak pernah disukai. Ia selalu dijauhi, dicuekin, diabaikan dan dimusuhi.
Ia didekati hanya oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan keahliannya mengadu domba dan membuat huru hara. Dalam dunia nyata buta cakil ini memang tidak ada. Tetapi sifat-sifat buruknya memang ada di sekitar kita, tersembunyi dalam diri masing-masing orang. Semua pribadi ini pasti punya “topeng” untuk menutupi keburukannya.
Dia suka sekali mengadu domba dan menguji kesabaran orang dengan tingkahnya yang menjengkelkan. Lalu dia akan terbahak-bahak kegirangan jika dia berhasil mencederai ketentraman dengan keonarannya. Dengan gambaran yang tidak indah tentang si buta cakil ini, wajarlah jika ia tak pernah disukai. Ia selalu dijauhi, dicuekin, diabaikan dan dimusuhi.
Ia didekati hanya oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan keahliannya mengadu domba dan membuat huru hara. Dalam dunia nyata buta cakil ini memang tidak ada. Tetapi sifat-sifat buruknya memang ada di sekitar kita, tersembunyi dalam diri masing-masing orang. Semua pribadi ini pasti punya “topeng” untuk menutupi keburukannya.
Di dalam pemerintahan khususnya anggota DPR, tokoh
cakil ini sangat mirip sekali dengan Ruhut Sitompul. Dia mewariskan sifat- sifat buruk cakil
seperti banyak tingkah, mau menangnya sendiri, dan suka mengadu domba dan
menguji kesabaran orang dengan tingkahnya yang menjengkelkan. Berikut ini sedikit bukti yang menguatkan
pendapat saya kalau Ruhut Sitompul seperti Cakil :
Isu rasisme
Dalam Pemilu 2009, Ruhut yang bergabung sebagai Koordinator Tim
Sukses Susilo Bambang Yudhoyono - Budiono melontarkan pernyataan kontroversial
dalam sebuah debat tim sukses. Hadir juga sebagai
pembicara pada saat itu, Permadi mewakili Tim Sukses Jusuf Kalla - Wiranto dan
Fuad Bawazier mewakili Tim Sukses Megawati - Prabowo. Pada kesempatan itu Ruhut melontarkan pernyataan bahwa "Arab tidak
pernah membantu Indonesia". Hal ini menimbulkan
kecaman dan reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, khususnya kalangan
keturunan Arab dan juga dari kalangan Islam. Pada 3 Juni
2009, Front Pembela Islam (FPI), sebuah organisasi Islam, menyatakan akan
menangkap Ruhut Sitompul atas pernyataanya yang telah menyinggung etnis Arab.
Isu rasistis kembali menimpa Ruhut dalam diskusi "Angket
Century SBY Jatuh" yang digelar Forum Umat Islam di Wisma Darmala Sakti,
Jakarta. Dalam diskusi tersebut, ia menyebutkan: “Kasus yang seperti begini dari dulu sudah ada. Sejak zaman Megawati sudah ada, waktu itu Sri Mulyani-nya (maksudnya
Menkeu) Si Cina, Kwik Kian Gie”.
Pernyataan yang dianggap
tidak pantas.
Pada 20 November 2009, Ruhut mengeluarkan pernyataan merelakan
kupingnya dipotong jika dana bailout Rp 6,7 triliun Bank Century mengalir ke
Partai Demokrat dan Presiden SBY. “Tidak ada kaitannya
SBY dan Demokrat dengan aliran dana Bank Century. Kalau ada,
potong kuping Ruhut Sitompul”.
Jadi, memang lebih baik tidak usah berurusan dengan orang-orang yang
menjadi sekutu buta cakil ini. Biar saja mereka yang
dikucilkan, biar saja mereka yang dijauhi. Rakyat
memang punya wakil di “atas” sana. Di “atas” sana rakyat menaruh harapan. Tetapi, harapan itu terhenti pada sisi lain perangai Cakil, yang
dikenal banyak omong dan pandai menari, bersilat lidah. Perjuangan
wakil rakyat terkadang hanya menjadi sebuah keindahan tarian persilatan dan
diplomasi yang berbusa-busa. Pertengkaran
yang menjurus perkelahian sempat terjadi di forum wakil rakyat, namun hasilnya
tetap saja: cakil-cakil rakyat yang menari, sekadar tontonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar