Kamis, 28 Juni 2012
Sejauh Manakah UU Perlindungan Konsumen Sudah Ditegakkan
Sejauh Manakah UU Perlindungan Konsumen Sudah Ditegakkan
Penegakkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu melindungi para konsumen dan memenuhi hak-hak mereka, kenyataannya belum sepenuhnya dijalankan sesuai makna yang terkandung dalam UU tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, Pemerintah perlu membenahi dan memperhatikan masalah ini, agar hak-hak konsumen yang selama ini didambakan oleh konsumen dapat terwujudkan dengan baik.
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Apabila kita lihat isi dari Undang – undang Perlindungan konsumen sudah bisa dikatakan baik, tetapi dalam kenyataannya di masyarakat justru berbanding terbalik dan cenderung menyimpang dengan isi Undang-undang tersebut.
Kepengurusan dan pihak yang melaksanakan undang – undang tersebut adalah lembaga yang menangani masalah konsumen yaitu LPK ( Lembaga Perlindungan Konsumen ) Dan YLKI (Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia), yang mempunyai tugas menangani masalah yang berkaitan antara produsen dengan konsumen dalam hal hak mendapatkan kepuasaan dalam pembelian suatu produk atau jasa, tetapi pemerintah belum sepenuhnya menangani masalah masalah keluhan konsumen sejauh ini.
Kenyataannya, perdagangan di Indonesia semakin kacau, dimana banyaknya barang - barang palsu beredar yang sulit dibedakan dan sangat meresahkan konsumen, apabila konsumen sulit untuk membedakan mana produk yang asli atau palsu tentu mereka tertipu oleh produsen - produsen nakal yang selama ini masih saja berdagang di pasar Indonesia. Contoh produk palsu mulai dari barang elektronik, kosmetik, hingga makanan marak beredar di pasaran. Barang elektronik dari China seperti komputer, baru beberapa bulan saja langsung rusak, karena spare part nya ada yang imitasi atau palsu. Lalu produk kosmetik, di produk kosmetik tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya jika dipakai dapat menyebabkan kerusakan kulit konsumen. Kemudian makanan, saat ini banyak bahan kimia yang digunakan dalam proses pengolahan makanan. Bahan kimia makanan yang banyak ditambahkan pada makanan, memang sebagiannya merupakan bahan yang masih di toleransi penggunaannya, namun sebagian lagi benar-benar merupakan bahan kimia berbahaya yang tidak seharusnya dikonsumsi. Efek yang ditimbulkan dari bahan tersebut dapat membahayakan dan mengancam keselamatan konsumen.
Selanjutnya, di Indonesia masih banyak produk-produk cacat yanh masih diperjual belikan. Jika si produsen sudah mengetahui cacad-cacadnya barang maka, selayaknya ia diwajibkan mengembalikkan harga pembelian yang telah diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti semua kerugian yang diderita oleh si konsumen sebagai akibat cacadnya barang yang dibelinya. Tetapi, kenyataan yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Produsen atau penjual berusaha menutup-nutupi kecacatan yang ada pada produk yang mereka jual di pasar dan berdalih bahwa kecacatan tersebut diakibatkan oleh konsumen sendiri.
Pemerintah pun kurang peduli akan hal itu, jarang sekali melakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana supaya masyarakat bisa memilih barang yang berkualitas bagus atau tidak, bagaimana membedakan ini produk asli atau tidak. Inilah yang seharusnya dilakukan pemerintah guna menghilangkan penipuan terhadap konsumen.
Selain produk palsu dan produk cacat, di Indonesia masih banyak produk kadaluarsa. Produk kadaluarsa tersebut beredar di pasar, swalayan, dan pusat perbelanjaan lainnya, padahal apabila produk itu dibeli oleh konsumen yang kurang cermat dalam membeli sebuah produk, itu akan sangat merugikan pihak konsumen apalagi kesehatan itu adalah hal yang paling diutamakan oleh semua orang.
Semua kejadian ini belum bisa dipastikan akan terjadi lagi atau tidak di masa yang akan datang. Jika Pemerintah tegas dalam menangani masalah ini mungkin semuanya akan lebih baik kedepannya dan sesuai yang konsumen harapkan.
Persoalan perlindungan konsumen mungkin ada kaitannya dengan adanya perdagangan bebas karena globalisasi, apalagi siklus perdangangan yang semakin cepat dapat memicu timbulnya ketidak jelasan terhadap perlindungan konsumen pada saat ini, apalagi produsen saat ini ditunjang dengan teknologi canggih yang membuat kapasitas produksinya melebihi batas normal dapat memicu persaingan antar produsen tidak sehat dan berdampak kepada perlindungan hak konsumen.
Saat ini, jika diamati sudah terjadi posisi tawar menawar yang tidak sehat antara pemerintah dengan produsen yang menimbulkan semuanya, disisi pemerintah ingin mendapatkan pemasukan pajak yang lebih besar dan dari pihak produsen ingin meningkatkan laba yang sebesar besarnya, justru itulah yang menimbulkan masalah. Hubungan interdependensi yang semestinya ada antara pelaku usaha dan konsumen dalam hubungan dagang, praktis bergeser ke arah dependensi (kebergantungan) konsumen terhadap dunia usaha. Dalam banyak hal, konsumen menerima segala sesuatu dari kalangan dunia usaha sebagai sesuatu yang baik itu informasi, jenis dan macam produk, kualitas produk, dsb. Praktis daya tawar konsumen menjadi lemah. Kekuatan pasar demikian telah meperburuk nasibkonsumen.
Keterpurukan nasib konsumen makin lengkap dengan maraknya praktik-praktik usaha yang tidak sehat/curang dalam berbagai modus dan bentuknya di berbagai sektor atau tahap perniagaan. Berbagai kecurangan (bahkan kejahatan) pelaku usaha sudah dimulai dan dapat terjadi sejak tahap proses produksi, pemasaran, distribusi, sampai dengan tahap konsumsi. Seringkali praktik usaha semacam ini dilakukan dengan justifikasi untuk bertahan dalam/memenangkan persaingan usaha atau guna melipatgandakan keuntungan. Di samping itu lemahnya pengawasan oleh instansi pemerintah atau penegak hukum terkait, berdampak pada tumbuhnya praktik usaha yang unfair tersebut yang akhirnya melahirkan kerugian di tingkat konsumen.
Serangkaian pertanyaan dan realita persoalan konsumen tersebut di atas mengajak kita untuk mencari terobosan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program perlindungan konsumen secara lebih komprehensif agar hasilnya dapat lebih optimal.
Kelemahan konsumen akan pengetahuan atas produk dan daya tawar adalah fakta. Mereka juga pada umumnya lemah atau setidaknya mempunyai keterbatasan dalam mengakses sumber-sumber daya ekonomi guna menopang kehidupan. Kekuatan modal dan pasar telah melemahkan kedudukan konsumen, bahkan untuk melindungi dirinya sendiri. Dengan kata lain, konsumen memang membutuhkan perlindungan dalam arti yang sesungguhnya. Lebih daripada itu, untuk dapat sedikit meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pelaku usaha konsumen membutuhkan penguatan dan pemberdayaan dari Pemerintah sesuai dengan Undang-Undang perlindungan konsumen.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar